Tak
ada yang lebih gusar melebihi makhluk Tuhan yang bernama gula pasir. Pemanis
alami dari olahan tumbuhan tebu ini membandingkan dirinya dengan makhluk
sejenisnya yang bernama sirup.
Masalahnya sederhana. Gula pasir merasa kalau selama ini dirinya tidak dihargai manusia. Dimanfaatkan, tapi dilupakan begitu saja. Walau ia sudah mengorbankan diri untuk memaniskan teh panas, tapi manusia tidak menyebut-nyebut dirinya dalam campuran teh dan gula itu. Manusia cuma menyebut, "Ini teh manis." Bukan teh gula. Apalagi teh gula pasir.
Begitu
pun ketika gula pasir dicampur dengan kopi panas. Tak ada yang mengatakan
campuran itu dengan kopi gula pasir. Melainkan, kopi manis. Hal yang sama ia
alami ketika dirinya dicampur berbagai adonan kue dan roti. Gula pasir merasa
kalau dirinya cuma dibutuhkan, tapi kemudian dilupakan.
Ia
cuma disebut manakala manusia butuh. Setelah itu, tak ada penghargaan sedikit
pun. Tak ada yang menghargai pengorbanannya, kesetiaannya, dan perannya yang
begitu besar sehingga sesuatu menjadi manis. Berbeda sekali dengan sirup.
Dari segi eksistensi, sirup tidak hilang ketika bercampur. Warnanya masih
terlihat. Manusia pun mengatakan, "Ini es sirup." Bukan es manis.
Bahkan
tidak jarang sebutan diikuti dengan jatidiri yang lebih lengkap, "Es sirup
mangga, es sirup lemon, kokopandan," dan seterusnya. Gula pasir pun
akhirnya bilang ke sirup, "Andai aku seperti kamu. "Sosok gula pasir
dan sirup merupakan pelajaran tersendiri buat mereka yang giat berbuat banyak
untuk orang banyak. Sadar atau tidak, kadang ada keinginan untuk diakui,
dihargai, bahkan disebut-sebut namanya sebagai yang paling berjasa. Persis
seperti yang disuarakan gula pasir.
Kalau
saja gula pasir paham bahwa sebuah kebaikan kian bermutu ketika tetap
tersembunyi. Kalau saja gula pasir sadar bahwa setinggi apa pun sirup dihargai,
toh asalnya juga dari gula pasir. Kalau saja gula pasir mengerti bahwa sirup
terbaik justru yang berasal dari gula pasir asli. Kalau saja para penggiat kebaikan memahami
kekeliruan gula pasir, tidak akan ada ungkapan, "Andai aku seperti sirup!
Dalam
kehidupan keseharian kita entah di kantor, di lingkungan rumah, maupun
lingkungan profesi sekalipun, seringkali kita mendapati ada orang-orang tertentu
seperti gula pasir yang banyak berjasa bagi orang lain tetapi tidak terliat,
tidak mendapatkan apresiasi yang layak, dihargai sumbangsihnya, maupun yang
lebih ekstrim adalah dianggap sosok pelangkap semata, bahkan dicibir dan
diremehkan.
Tak
mengapa! Gula pasir tetaplah bagaikan sosok mutiara di antara lapiran pekat
Lumpur atau buah kelapa diantara rimbuan pohon di hutan belantara... yang Tetap memancarkan cahaya ketulusan hati.